Ragam Baku

Dapatkah kita menggunakan kata-kata baku dan tetap terlihat “gaul”?

Pertanyaan di atas diajukan ke pemandu seminar daring tentang buku anak-anak, 9 Februari lalu. Bukan hal baru, karena ada stereotip lama: ragam baku adalah kaku, ragam pergaulan berarti lincah dan kebebasan. Dulu sampai ada representasi stasiun RRI dan radio swasta –yang baku vs. gaul.

Jawaban yang disampaikan, “Bapak/ibu masih ingat buku Harry Potter, sebagai contoh. Buku tersebut ditulis dengan ragam baku, namun tetap disukai sangat banyak pembaca, bahkan menjadi buku laris, dan tidak ada yang mempermasalahkan ragam baku tsb. Artinya, yang lebih penting adalah kemampuan penulis atau penerjemah dalam berbahasa Indonesia.”

Saya sendiri belum pernah membaca Harry Potter, namun setuju terhadap penjelasan di atas. Contoh pada buku-buku lain dan tutur kata secara lisan sudah membuktikan berkali-kali. Yang masih kurang berkali-kali adalah kemauan melatih kemampuan.

Moleskine

Seorang teman terlihat memberi jempol untuk halaman Moleskine Asia di Facebook. Moleskine, teringat saat membaca tulisan beberapa desainer lewat blog dan karena penasaran saya tanyakan ke Boy Avianto sebenarnya apa keistimewaan buku catatan tsb. Dengan jujur Boy menjelaskan ya mirip saja dengan buku saku lain, namun dalam hal Moleskine ini ada aspek sentimental menggunakan merk tertentu yang sangat terkenal. Jawaban yang saya sukai karena toh fungsi buku lebih diprioritaskan ketimbang atributnya. Kendati, lanjut Boy, di buku tsb. ada nomor seri yang dapat didaftarkan lewat web dan itu menjadi catatan personal yang unik.

Tentu saya tidak tahu sejauh mana keunikan tsb. karena belum pernah membeli Moleskine dan hanya menikmati keanggunannya di sejumlah toko buku yang gemerlap. Iseng saya cari tulisan tentang Moleskine sore ini, hasilnya masih sama dengan tahun-tahun lalu, yaitu dilengkapi dengan harganya yang mahal. Padahal di halaman mereka di Facebook ada satu foto berisi tumpukan Moleskine diberi keterangan, Berapa buku tumpukan milik Anda? Sebagian komentator menjawab di bawah lima, namun ada kelompok kecil komentator yang menyebut banyak atau di atas sepuluh buku. Berarti kelompok berkecukupan yang menilai keelokan Moleskine sepadan dengan ide kreatif mereka yang dituangkan di lembar-lembarnya.

Dari situs web Moleskine Asia secara acak saya pilih satu jenis buku dan setelah dikonversi, berharga sekitar Rp125.000. Buku catatan semahal itu? Mengapa tidak, walau dapat menyebabkan Erasmus berpuasa berhari-hari jika duit yang disisihkan untuk membeli buku dari jatah makan dipakai untuk mengoleksi Moleskine.

Continue reading “Moleskine”

Amanah dari Lipatan

Seperti paparan saya tentang memaksa diri sendiri agar disiplin berkarya dan keyakinan bahwa jumlah latihan penting, seharusnya sekarang ini saya dapat mengulang pemaksaan di masa lalu, misalnya satu tulisan setiap hari, disebar ke beberapa tempat kegiatan blog. Situs ini, #direktif, Google Plus, dan satu lagi Wislog, harus diisi secara rutin. Masak kalah oleh semangat memasang foto di Flickr?

Salah satu alat latihan yang sudah saya gunakan beberapa kali adalah Facebook. Dengan ukuran teks yang lebih leluasan dibanding mikroblog, Facebook terasa nyaman. Hal serupa yang terasa mengasyikkan di Google Plus. Sayang juga jika ide-ide disebar serampangan di mikroblog, apalagi ditandai urutan angka. Saya setuju penuh dengan tulisan Affan Basalamah tentang kultwit, sampaikanlah dengan elegan.

Continue reading “Amanah dari Lipatan”