Sebenarnya dalam bayangan saya tentang bersepeda adalah seperti sediakala™.
Saat itu sepeda yang sudah dianggap bagus adalah “Phoenix, buatan RRT” (Republik Rakyat Tiongkok). KW-1 dst. dari Phoenix bertebaran, antara lain “Turangga” buatan Sidoarjo. Phoenix tsb. berharga Rp 150-an ribu pada masa itu dan sudah kinclong. Tanpa perlengkapan khusus seperti gigi sekian nomor, apalagi speedometer dan GPS. Perlengkapan tambahan hanya rem dan sandaran untuk parkir.
Untuk Bandung Utara, sepeda seadanya seperti ini memang menyengsarakan: saya pernah mencoba memboyong ke sini waktu kuliah, hanya untuk melaju dari pintu gerbang kampus bagian depan ke perpustakaan di belakang, perlu mengayuh berbonus tersengal-sengal, sedangkan pada arah sebaliknya, direpotkan oleh pengereman yang mendebarkan jantung lebih keras.
Sebaliknya, pada saat saya tinggal di Rancaekek, Bandung Timur, hampir semua urusan sehari-hari dilakukan dengan sepeda dan super-praktis. Dua unit sepeda untuk satu keluarga sudah nyaman mengitari kompleks perumahan sampai belanja ke pasar besar kecamatan. Penitipan sepeda berskala besar di stasiun kereta api Rancaekek juga disediakan, termasuk feature sepeda diamankan secara khusus jika pemiliknya tertinggal kereta api yang datang terakhir.
Gambaran terakhir ini yang disayangkan digantikan oleh kepraktisan (atau ketidakpedulian?). Penjaja makanan atau sayuran yang sebelumnya bersepeda akhirnya ganti berkendara sepeda motor. Siswa/i yang berangkat ke sekolah hanya berjarak kurang dari 5 km bersepeda motor pula. Membeli camilan di warung RW sebelah, berangkat ke lapangan kompleks, sampai dengan mengasuh balita dan ngabuburit dilakukan dengan berkendara sepeda motor.
Begitu pula, ajakan kembali bersepeda tidak perlu dipertentangkan dengan sejumlah kesulitan yang tidak dimungkinkan untuk beberapa kondisi. Seperti contoh medan di Bandung Utara yang sulit untuk bersepeda, perjalanan yang jauh juga tidak praktis dilakukan begitu saja dengan sepeda dari rumah. (Memang ada sepeda lipat sih, sila saja digabungkan dengan moda transportasi lain) Yang lebih penting ada pola pikir “dimulai dengan sepeda dulu”. Jika mudah dilakukan dengan sepeda dan praktis, kerjakan! Sesederhana itu. Ke masjid, ke undangan selamatan, ke pasar, bayar listrik, dlsb. dapat dikerjakan dengan bersepeda.
Bagaimana dengan keamanan berkendara? Ini juga soal rawan yang dapat terkait faktor trauma. Bersepeda motor juga tidak kalah rawan, mungkin malah lebih. Yang dapat dilakukan untuk sekarang, gampangkan saja: berkendara sepeda di pinggir kiri dengan kecepatan secukupnya; jika terlihat sesuatu yang berpotensi membahayakan, lebih baik direm dan berhenti sejenak. Kesabaran untuk berhenti ini penting –sedang berkendara apapun. Insyaallah risiko celaka dapat dikurangi.
Karena maut mengintai semua orang di jalan raya dengan peluang lebih tinggi daripada sedang diam di rumah misalnya, solusinya sama seperti berkendara apapun: mulailah dengan berdoa.
Sesederhana itu dan saya tetap rindu “bersepeda yang biasa-biasa saja”, yang merupakan keseharian dan bukan atas motif “yang hebat”, slogan yang canggih, apalagi sepeda dan perlengkapannya yang berharga mahal.