“Tinggal sehari besok”, terdengar bisik-bisik seorang jemaah Subuh di masjid. Ada yang merasa tercekam akan berpisah dengan bulan mulia, ada juga yang seperti menghela nafas lega. Saya tidak ingin gegabah memvonis: masing-masing memiliki latar belakang dan tetap ada rahasia Allah terhadap kondisi hamba-Nya.
Yang saya syukuri: beberapa kali saya bertemu tukang ojeg kenalan sedang salat zuhur di masjid di akhir Ramadan ini, selain beberapa sopir angkot yang memang sudah berlangganan salat berjemaah di masjid. Pangkalan ojeg di ujung jalan sudah lebih sepi, mengikuti aktivitas di sekitar yang mulai menurun. Kesibukan yang sedikit meningkat di masjid membawa harapan karena terlihat ada penumpang ojeg minta diantar meninggalkan masjid.
Ingin rasanya berandai-andai –semacam harapan, seperti doa– bahwa keteduhan masjid, ketenangan salat berjemaah, akan lebih melengkapi ibadah banyak orang, khususnya setelah bulan Ramadan nanti. Apapun alasan kedatangan tambahan jemaah masjid di bulan Ramadan ini, sangat baik didoakan agar menjadi pertimbangan untuk selalu mengingat jati diri dan perjalanan hidup di dunia.
Lebih-lebih kepada sebagian dari kita yang memiliki “energi” sangat besar untuk ingin tetap bersama bulan mulia –sehingga terasa sangat berat untuk berpisah, akan lebih baik keinginan tersebut disalurkan, ditularkan, menjadi doa untuk saudara-saudara yang lain yang sedang mencoba memahami kenikmatan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rasa sukacita akan kedatangan Ramadan yang telah lewat, pun perasaan kehilangan masa akan berpisah sekarang, akan menjadi lebih elok dipahami sebagai empati bersama. Bahwa kadar waktu yang kita jalani sudah diketahui Allah untuk hamba-Nya.
Insya Allah kita akan berjumpa dengan Ramadan berikutnya, dengan dasar kehendak Allah. Dengan keterbatasan karena kita tidak mengetahui sedikit pun tentang masa depan, lanjutkan yang bermakna dari bulan ini sebagai kebiasaan untuk besok dan seterusnya.