Ini percakapan setengah dasawarsa lalu antara saya dengan seorang perempuan Betawi yang menikah dengan warga negara Belanda dan tinggal di desa sekitar 30 km dari Groningen, ibukota provinsi. Dia mengemukakan keheranannya tentang orang Belanda yang dia kenal (tentu sangat sedikit dan tidak menggambarkan keseluruhan penduduk Belanda) yang memilih tinggal di rumah sewa sepanjang hidupnya, tidak berinisiatif membeli rumah sendiri, padahal dari sisi finansial memungkinkan menurut hitungannya. Saat itu saya hanya mendengarkan, mengangguk ringan, dan teringat “teori investasi” sederhana oleh teman kuliah: daripada menyewa rumah, lebih baik mengusahakan uang muka untuk membeli rumah, setelah itu uang sewa rumah dapat dialihkan sebagai angsuran rumah; dengan demikian, setelah rumah lunas, kita punya hasil berupa rumah tsb. Saya cukup yakin, teori sederhana di atas diketahui dan disepakati oleh mayoritas warga Indonesia.
Percakapan di atas ringan saja, kami tidak menelisik lebih jauh akar penyebab budaya menyewa rumah di Belanda. Tidak juga mencari-cari bahan terkait di media, malah sebenarnya tidak dapat dipastikan klaim mitra bicara di atas sahih adanya.
Masih tentang penyewaan, pendapat lain yang sering saya dengar dikaitkan dengan nilai barang dalam pembukuan sebuah organisasi dan kepraktisan pengelolaan alat pendukung produksi. Perusahaan tidak perlu repot menyelenggarakan pengadaan dan pembuangan pendukung produksi tsb. dan dapat menuntut selalu tersedia barang baru kepada jasa penyewaan. Lebih-lebih untuk alat-alat di seputar TI yang berumur pendek antara lain disebabkan kecepatan kedatangan spesifikasi baru yang lebih baik.
Apa kira-kira esensi yang dapat dipertimbangkan dengan makna yang lebih jauh dari gaya hidup menyewa?
Dua tahun lalu seorang teman di kantor memaparkan keinginannya untuk segera memiliki rumah, dan lazimnya banyak karyawan di negeri ini: dengan program angsuran. Setelah saya jelaskan adanya program pemerintah untuk rumah susun di tengah kota, dia mengemukakan keberatannya: lebih baik rumah dengan tanah sendiri, dengan dalih untuk investasi keturunan kelak. Antara menimpali dengan candaan ringan dan berpikir jauh, saya balas komentari: warisan yang baik buat keturunan kita adalah teladan ibadah. Semua yang mendengar terkekeh –bagaimanapun, ada benarnya, kan?
Terpikir dari percakapan tsb.: harga lahan kian membubung di Bandung antara lain disebabkan oleh keinginan tambahan sebagian pihak untuk berinvestasi lewat property, lahan atau bangunan. Kepentingan tambahan seperti ini dapat menyulitkan mereka yang memang perlu rumah sebagai tempat tinggal, selain memang pengertian “keperluan akan rumah” menjadi lebih berat karena ada atribut “investasi.” Rumah tidak lagi semata-mata tempat hunian.
Begitu halnya dengan kendaraan: benarkah kita memerlukan mobil yang siap mengantarkan kita sembarang waktu? Bukankah ada angkutan umum (walau belum berfungsi penuh semestinya), termasuk taksi jika ingin lebih nyaman. Termasuk juga sepeda motor tentunya: kita akan mengendarainya untuk jalur-jalur yang sulit dijangkau angkutan umum atau sepeda, atau kendaraan multifungsi hingga perjalanan antarkota antarprovinsi, yang sebenarnya lebih layak, lebih aman, menggunakan transportasi umum.
Utilisasi barang yang kita beli perlu dipertimbangkan jika kita memang sanggup membelinya. Sia-sia belaka kan, kisah pembelian mobil supermewah yang hanya untuk dinikmati di garasi karena kondisi jalan di negara kita belum layak untuk jenis tsb. Atau lensa kamera sepanjang talang air jika hobi memotret masih asal-asalan. Demikian pula rumah-rumah besar yang akhirnya dihuni pembantu rumah tangga atau penjaga rumah. Slogan “duitku adalah urusanku sendiri saat dibelanjakan” tentulah berlaku, namun karena perangkat aturan dan lebih-lebih pengawasannya di negara kita belum berjalan baik, saran bersifat normatif seperti ini dimaksudkan sebagai pendekatan persuasif.
Akan halnya untuk kelompok dari kita yang memang tidak sanggup menggelontorkan duit untuk membeli barang-barang tsb. padahal memerlukannya, menyewa adalah alternatif yang memudahkan jiwa untuk menjalaninya. Ringan pada pikiran, tinggal luncurkan amunisi berupa cara mengikhlaskannya. Naiklah angkutan umum dengan pikiran bahwa ini lebih menyehatkan, lebih aman, dan beristirahatlah di perjalanan, tanpa pikiran rusuh bahwa nanti harus ada kendaraan sendiri. Sewalah rumah benar-benar untuk tempat tinggal bersama keluarga sambil tetap takdim bahwa beberapa negarawan negeri ini, terutama pada periode lalu, menyewa rumah hingga akhir hayatnya.
Hasil akhirnya adalah penggunaan dan penempatan hal-hal sesuai fungsi dasarnya, kembali ke khittah. Menggunakan tempat tinggal memang untuk ditinggali, berkendaraan sesuai klasifikasinya, membeli gadget sesuai fungsi dasarnya. Pergeseran akan fungsi dasar pun dapat berjalan bertahap, karena manusia yang ikut bergeser berjumlah sangat banyak.
Seperti halnya model ekosistem di dunia nyata, pendapat ini tidak dimaksudkan untuk menyeragamkan keadaan semua orang, melainkan sebagai suatu pilihan yang boleh dijadikan pertimbangan. Agar pihak yang berlebih duit mengurangi nafsu memiliki karena sebenarnya secara [tidak] langsung mereka menghalangi pihak lain yang benar-benar memerlukan kelengkapan tsb. Begitu pula untuk pihak yang berkekurangan tetap menikmati hidup, tidak bersusah-payah apalagi mengeluh, dengan keadaan yang dijalani. Toh, yang lebih jelas: hidup bagi keduanya, dan siapapun di dunia fana ini, akan ditinggalkan dan seharusnya warisan kepada anak-cucu kita diurus negara, karena berumur lebih panjang.
Negara? Ya, kita tahu sama tahu deh, saya juga penduduk biasa negeri ini. Sama sekali bukan menyeru akan kondisi utopia.