Kemarin sore saya menyempatkan diri mendatangi Kuliah Umum yang diselenggarakan Masjid Salman ITB. Berjudul Islam, Indonesia, dan Pancasila, kuliah umum disampaikan oleh Yudi Latif, penulis buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Tema yang menarik bagi saya dengan harapan akan gambaran yang lebih teduh untuk mempertemukan agama dan kebangsaan.
Sedikit yang membuat saya mengernyitkan dahi adalah tulisan yang dipilih sebagai pengantar di undangan Facebook untuk Kuliah Umum ini,
INILAH ironi kolektif bangsa yang gagal. Ibarat sudah memegang mutiara, tapi malah dikubur dan berusaha mencari mutiara lain di tumpukan puing-puing kehancuran rumah milik orang lain. Mungkin itulah salah satu analogi tentang eksistensi Pancasila sebagai dasar negara Republik ini yang semakin pudar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi yang diperagakan penyelenggara negara dan kroni-kroninya, tindak kekerasan yang terus masif atas nama pembenaran privat, dan praktik ekonomi yang timpang, serta lemahnya akses-akses bagi warga negara untuk memperoleh hak-hak mendasar adalah secuil bukti kebobrokan negara ini.
Sumber: Media Indonesia.
Frase ironi kolektif dan gagal seperti bersahutan dengan “keterpurukan” yang menimbulkan suasana tidak nyaman. Semoga diskusi tsb. tidak menjadi acara ratapan berjemaah.
Yudi Latif memerlukan waktu dua tahun untuk mengumpulkan dan menganalisis dokumen-dokumen kelahiran Pancasila, terutama sejumlah makalah di seputar rapat BPUPKI, menjelang proklamasi Indonesia. Apakah istilah paripurna yang digunakan sebagai judul buku tsb. pengganti kata final yang dulu lazim digunakan dalam frase negara final di zaman Orde Baru?
Kuliah umum diawali dengan paparan bahwa cara pandang terhadap Islam sebagai agama, Indonesia sebagai tanah air dan bangsa, dan Pancasila sebagai dasar negara menjadi tersekat-sekat dan cenderung dipertentangkan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Yudi menilai bahwa klasifikasi yang disodorkan intelektual pada periode lalu telah menyebabkan cara pandang tersebut berkepanjangan. Inilah perlunya intelektual berhati-hati dalam melakukan klasifikasi. Yang dimaksud adalah pengelompokan “kubu Islam” dan “kubu nasionalis” (biasanya disebut juga sebagai “kubu sekuler”) selama rapat-rapat BPUPKI. Hal ini menjadikan cara pandang bahwa kubu Islam sulit menerima ide kebangsaan, sedangkan kubu nasionalisme tidak peduli urusan agama. Padahal dalam beberapa pidato perwakilan mereka terjadi “saling mengakomodasi” keperluan pihak lain. Sebagai ilustrasi, Soekarno memilih kata Mukaddimah untuk pembukaan UUD, dibanding Declaration yang diusulkan perwakilan kelompok Islam. Demikian pula untuk beberapa konsep dasar yang kemudian dirumuskan selama persiapan proklamasi tsb.
Di bagian berikutnya, Yudi menjelaskan keterkaitan sila-sila dalam Pancasila dengan konsep dasar dalam semangat Islam dan dikaitkan pula dengan kondisi Republik yang memang heterogen. Termasuk heterogen secara internal, semisal dibandingkan dengan Saudi Arabia atau Iran yang didominasi oleh satu mazhab/kelompok dalam Islam, di Indonesia, Islam sendiri pun –pada tataran syariat– akan menimbulkan pertanyaan penting: [syariat] Islam mana yang dipilih? Dengan demikian, menampilkan semangat Islam dalam sila-sila Pancasila perlu menggunakan bahasa publik, membumi, dan secara esensi diterima semua pihak. Menarik juga disimak kaitan berkelanjutan dari sila pertama yang meletakkan asas penting tauhid, penghargaan Islam akan derajat manusia (“yang lebih mulia adalah yang bertakwa”), kesatuan manusia sebagai umat yang besar (ummatan wahidan), cara pengambilan keputusan lewat asas demokrasi dengan hikmat musyawarah, dan hasilnya adalah untuk keadilan dan kesejahteraan bangsa Indonesia sendiri.
Bagaimana ke depan? Hal yang menggelitik adalah: pada saat umat Islam menempati pos-pos penentu kebijakan seperti sekarang, mengapa “warna Islam” tidak terangkat? Sebagai perbandingan, di India nilai-nilai Hindu terbawa, di Cina dengan Konfusianisme, di Amerika Serikat dengan Protestan, mengapa untuk negara [berpenduduk] Islam terbesar, Indonesia, nilai tsb. tidak muncul?
Yudi mengusulkan dua langkah ke depan:
Dengan kata lain, bagi umat Islam hal ini selaras dengan ajakan “masuklah Islam secara kaffah (menyeluruh) dan terapkan amaliah ajaran Islam.”
Hadirin merespon kuliah umum dengan pandangan positif: mendapatkan pencerahan tentang sikap memahami korelasi Islam dan Pancasila. Dalam tanya-jawab setelah materi dibawakan, tercetus reaksi tentang cara meletakkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, tafsir sila-sila Pancasila, dan hubungan antara agama-negara. Tentang hubungan agama-negara, dikemukakan bahwa pada perkembangan terakhir ini, kata separation (pemisahan) dianggap tidak tepat menggambarkan hubungan tersebut, sebagai gantinya adalah differentiation (pembedaan). Artinya, negara dan agama tidak benar-benar terpisah lepas, melainkan keduanya berdiri saling berhubungan dengan terdapat pembedaan fungsi keduanya.
Terhadap seorang hadirin yang bersikap menolak gagasan Yudi dan tetap menekankan pada “negara berbasis syariah”, termasuk mempersoalkan Piagam Jakarta, Yudi dengan baik menjelaskan balik bahwa misalnya pun digunakan istilah syariah atau merupakan representasi nilai-nilai Islam, perjalanan masih akan panjang untuk mendapatkan “syariat yang sesuai dengan kondisi di Indonesia”. Dalam arti: metodologi pengambilan hukum dan pelaksanaan syariat itu sendiri yang harus dicari untuk Indonesia dan ini pekerjaan rumah yang besar. Sedangkan untuk penghilangan kata-kata syariat pada Piagam Jakarta, disampaikan analogi yang tepat saat Rasulullah bersama para sahabat sedang menyusun Perjanjian Hudaibiyah berhadapan dengan para pemuka kafir Quraisy.
Perlu dibaca buku Negara Paripurna, setidaknya disajikan dokumen-dokumen perumusan dasar negara yang disampaikan oleh para pendiri negara ini.