Salinan tulisan lama, 8 Maret 2004, yang perlu diselamatkan dari arsip blog De Gromiest, paguyuban muslim asal Indonesia di Groningen, Belanda.
Pada salah satu pertemuan yang tidak direncanakan di rumah Concordia beberapa pekan lalu, saya mendapat keterangan yang indah bahwa ujian hidup itu tidak perlu harus diada-adakan atau dilatih, melainkan sudah ada di depan kita dan tinggal dijalani. Pada saat ban sepeda bocor, itu juga ujian; bagaimana tingkah laku kita menghadapinya adalah juga cermin sampai seberapa tinggi nilai yang (telah) kita dapat.
Demikian halnya pertanyaan tentang ketuhanan, yang selama ini biasanya menjadi debat kusir pada diskursus teologi, tiba-tiba dalam waktu beberapa hari ini muncul di depan saya. Berondongan pertanyaan sulit dan perlu perenungan itu terlontar begitu saja dari mulut dua bocah kecil.
Pada mulanya secara hati-hati saya perkenalkan mereka pada konsep surga dan neraka. Sekalipun hal ini agak abstrak, namun saya berdoa mudah-mudahan dapat menjadi penjelasan yang mengena tentang tujuan salat. Tentu kurang baik apabila hanya dijelaskan bahwa surga-neraka itu esensi salat bagi umat Islam, melainkan sebagai pelengkap penjelasan lain bahwa kita perlu berterima kasih atas semua kebaikan yang diberikan oleh Allah.
Saya sudah siap-siap, rasanya tidak lama lagi pertanyaan balik yang tajam akan berdatangan. Saya ingat pada saat menjelaskan Allah itu Maha Besar, serta-merta Farras yang sedang menyukai ungkapan “tien hondred duizend miljoen” langsung balik bertanya: seberapa besar, Pak? Lebih besar mana dengan reus (”raksasa”), dengan planet? Dan disebutkan koleksi ukuran angka yang menurut anggapan dia itulah bilangan terbesar. (Saya belum mengemukakan hipotesis [atau premis?] bahwa apabila terdapat sebuah bilangan terbesar bernama N
, maka akan terdapat yang lebih besar lagi, yakni N + 1
, dengan asumsi N
anggota bilangan bulat.)
Nah, tentang surga dan neraka ini, keterangan dasarnya: orang yang shalat tentu (dia belum faham ungkapan insya Allah atau “atas izin Allah”) masuk surga, sedangkan penjahat masuk neraka. Pada beberapa hari pertama, dua kondisi itu diterima baik-baik. Tidak ada pernyataan apapun.
Demikianlah, otak manusia dibuat oleh Penciptanya yang Maha Kuasa untuk berputar dan hidup. Hati manusia juga dititipi sejumput cahaya-Nya. Akhirnya sampai juga pertanyaan tersebut.
+ Bapak, kalau penjahat tapi salat, apakah dia masuk surga?
[ … saya perlu mengembangkan prasangka positif dulu …] - Jika orang sudah salat, maka ia tidak boleh menjadi penjahat lagi. Karena orang salat itu tidak boleh jahat.
+ Tapi bagaimana, jika jadi penjahat terus, sampai opa, masih jadi penjahat juga?
- Tentu saja tidak boleh. Kalau orang tersebut sudah salat, dia harus berhenti jadi penjahat. Tidak usah menunggu menjadi opa.
[ … time out dulu… main… terus kembali lagi …] + Bapak, bagaimana kalau setelah jadi opa, dia salat, apakah masuk surga?
- Ya, jika orang tersebut berhenti menjadi penjahat dan kemudian melakukan salat dengan baik, maka dia akan masuk surga.
+ Bagaimana kalau baru salat sekali, waktu jadi opa, terus kemudian dood (meninggal)?
[ … cesss… ini gabungan pertanyaan teologi dengan Kalkulus Dasar tentang konsep limit, menggabungkan Al Khwarizmi dengan L’Hôpital yang masyhur dengan Aturan Apitnya …]
Demikianlah, kombinasi ketiga kondisi, yakni amaliah, tobat, dan maut, dilontarkan dengan banyak variasi. Tidak perlu dikutipkan semua di sini, karena bukan hal-hal lahiriah itu esensi yang saya tangkap lebih jauh.
Sambil saya sibuk menjelaskan beberapa prinsip keimanan dengan bahasa sederhana yang dimengerti mereka, saya jadi melihat bahwa pertanyaan seperti itu —baik yang tersampaikan atau disimpan di lubuk hati yang dalam— adalah tipikal hati yang jernih dan mendasar dari umat manusia. Farras dan Safira itu hanya wadah fisik yang saya lihat dengan mata, namun tentunya semua anak-anak yang masih bersih, yang dibekali cahaya oleh Penciptanya untuk mengarungi alam semesta yang fana ini, niscaya terbitlah pemikiran seperti itu. Pertanyaan dan kesimpulan sementara yang saling bersusulan sebagai gabungan hukum induksi dan deduksi, keduanya muncul begitu saja. Kita sebagai orang yang lebih tua, lebih mengerti, tidak sampai perlu mendikte mereka agar mengambil jalan penalaran seperti yang sering kita mau. Penjelasan yang saya berikan benar-benar hanya ilmu pengetahuan dasar, sunnatullah yang paling elementer dan diterima oleh semua orang, namun dengan kejernihan pikiran anak-anak —ya, semua anak!— mereka bisa mengolahnya menjadi lebih rumit dan lebih fundamental dari rocket science. Jikalau Neil Armstrong dapat menancapkan bendera di permukaan bulan, siapa yang sanggup menancapkan iman di dalam hati, tempat yang jauh lebih dekat, kecuali Dia Yang Membolak-balik Hati?
Insya Allah cahaya yang dibekalkan oleh Allah itu melekat terus di dalam hati manusia. Hanya saja dengan waktu berjalan, pengetahuan bertambah, rasa percaya diri meningkat, hal-hal tersebut sedikit-banyak menghalangi cahaya itu untuk menerangi jiwa. Hampir semua orang (untuk tidak mengatakan “semua orang”) sampailah pada pertanyaan-pertanyaan semacam yang diungkapkan oleh anak-anak itu. Namun sebagian pertanyaan itu menjadi padam atau tertutup bayang-bayang keakuan, sehingga tidak dapat terungkap sebagai pencarian yang jernih.
Rayhan, sebenarnya begini …
Semua orang yang sudah salat, sekalipun baru sekali, maka dia akan masuk surga. Tapi, Rayhan harus ingat juga, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tahu kapan dia akan meninggal. Kalau misalnya dia belum sempat salat terus meninggal, kan tidak jadi masuk surga. Nah, oleh karena itu, tidak usah menunggu menjadi opa dulu untuk salat. Segera saja salat, dan ingat, begitu sudah salat, maka orang itu harus berhenti menjadi penjahat.