Baru lewat pekan lalu di Jakarta berlangsung protes oleh sebagian sopir angkutan umum terhadap moda transportasi berbasis aplikasi daring (online). Protes dalam bentuk demonstrasi seperti ini sudah terjadi di beberapa kota lain, yang cukup ramai disorot di Paris, Perancis, misalnya. Beragam ulasan tentang kejadian yang berlangsung, a.l. karena potensi adanya pemaksaan sikap, khas Indonesia. Salah satu aspek yang dijadikan pijakan pembahasan adalah kedatangan teknologi merangsek “tatanan” sebelumnya (kerap juga disebut sebagai tradisional). Aplikasi mobile yang menghubungkan komputasi awan dengan kepraktisan pengoperasian dengan sentuhan jari seperti puncak pencapaian teknologi mutakhir, menjadikan kontras kesenjangan terhadap teriakan para calo tradisional kita.
Di kota besar seperti Jakarta, kedatangan perubahan yang dimobilisasi masif lewat kucuran dana, pendaftaran peserta sistem baru, hingga promosi sebagai gaya hidup, menjadikan pemikiran yang lebih mendalam –atau bertele-tele. Bagaimana seandainya perubahan yang dibawa teknologi tersebut berlangsung di kota kecil, apakah “lebih tenang”? Hal ini yang akan diceritakan.
Kisah bermula dari Desa Balunglor, Kecamatan Balung, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Di desa ini terdapat pertigaan masyhur berisi cabang jalan yang mempertemukan jalur dari utara, Kecamatan Rambipuji, dan dari timur, Kecamatan Ambulu, menuju arah selatan, Kecamatan Puger. Disebut jalur strategis karena salah satu titik-henti angkutan antarkota Jember-Kencong dan Jember-Lumajang. Arah utara, menuju Kecamatan Rambipuji tadi, lebih ramai karena menjadi jalur mobilitas warga dari Balung ke Jember dan sebaliknya; sedangkan jalur timur, ke Kecamatan Ambulu, lebih sepi penumpang –di sinilah masalah berawal.
Angkutan umum antarkecamatan, disebut kol (dari seri kendaraan Colt oleh Mitsubishi) di sana, menunggu penumpang sampai benar-benar penuh dan ini perlu waktu sangat lama. Benar-benar sangat lama, karena mereka berdalih bahwa sudah tidak ada penumpang lagi yang dapat diangkut di tengah perjalanan, dengan demikian penumpang harus penuh dari awal. Tanpa patokan maksimal waktu menunggu, sering terjadi penumpang frustasi karena tiada kejelasan dan sopir atau kenek kol seperti acuh, jawaban singkat mereka, Jika ingin langsung berangkat, naik becak saja, yang berarti ongkos perjalanan menjadi berlipat. Pada jam-jam tertentu keadaan menunggu memang lebih singkat, namun secara umum, khususnya sepanjang siang hari, pilihan penumpang yang terpaksa menunggu-tidak-jelas hanya menggerutu. Telepon rumah belum lazim di sana, sehingga komunikasi dengan pihak lain di rumah atau tempat tujuan praktis tidak ada.
Sampai kemudian datanglah ponsel ke desa tsb., kira-kira di awal abad XXI, tahun 2000-an. Pada saat yang bersamaan, kebijakan pembelian sepeda motor dilonggarkan dan kendaraan tsb. menjadi milik “sejuta umat”. Digunakanlah SMS: calon penumpang akhirnya memilih menggunakan SMS untuk minta dijemput. Perlahan namun pasti, akhirnya para penjemput mengalahkan ketidakpastian waktu berangkat angkutan umum. Tanpa mobilisasi secara resmi seperti halnya aplikasi transportasi daring, proses perubahan ini berlangsung secara sunyi dan tanpa konflik. Angkutan umum jurusan timur ditinggal penumpang, kian merana, dan puncaknya: para sopir kol berubah profesi menjadi tukang ojek. Dari melayani sekian banyak penumpang dalam satu mobil, menjadi “semi-privat” dengan sepeda motor.