Pada saat tarik-ulur pelaksanaan Aksi Bela Islam 212 (2 Desember 2016, “ABI 212”), pesan dari teman lewat WhatsApp, Semua akan NU pada waktunya. Pernyataan ini terkait perubahan acara yang semula disebut-sebut akan diselenggarakan salat Jumat di jalan raya, akhirnya diselenggarakan di kawasan Monas dan diberi atribut acara, Istighosah dan Doa untuk Negeri. Istighosah adalah istilah yang sering digunakan NU dan biasanya dalam bentuk penggalangan massa. Dengan demikian, kendati NU tidak turut serta pada Aksi Bela Islam, pemilihan istighosah sebagai kompromi istilah menjadi, “begitu nahdliyin…”
Agar adil, beredar pula candaan bahwa ada yang memprotes rencana salat Jumat di jalan raya karena dianggap bid’ah, namun setelah dijelaskan bahwa K. H. Ma’ruf Amin akan turut sebagai khatib, pemrotes tsb. selanjutnya terdiam.
Bagaimana dengan “semua akan NU”? Berikut senarai beberapa kejadian sejak akhir 2016 hingga hari-hari ini, lebaran Idulfitri 1438H, menjelang pertengahan tahun 2017.
Pada liputan 9 Mei 2017 oleh Jerome Wirawan dari BBC berjudul FPI menyebut, mereka beda dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Ki Agus M Choiri selaku Ketua Bantuan Hukum Front FPI Jawa Barat menyatakan pihaknya berbanding terbalik dengan HTI. Dari pertama, kami berbeda sikap dengan HTI. Kami beranggapan Indonesia ini negara tauhid dengan Pancasila dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi, sebaliknya, HTI menganggap Indonesia adalah thogut (sesuatu yang disembah selain Allah), ujar Choiri.
Tanggapan beragam terhadap pernyataan Ki Agus di atas, sebagian mengaitkan dengan proses pembubaran HTI, semisal anggapan “cari aman.”
Tentang dukungan terhadap Pancasila, NU sudah merumuskan hubungan Pancasila dengan Islam dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983 dan menjadi landasan asas tunggal untuk ormas di Indonesia.
Kiai Ma’ruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, dalam pernyataannya pada tanggal 29 Mei di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, menyebut bahwa tidak ada kriminalisasi ulama dan merupakan persoalan hukum seperti biasa.
Jadi ikuti saja proses hukum yang berlangsung, yang berjalan. Nanti di pengadilan akan dibuktikan apakah seseorang bersalah atau tidak bersalah, ujar Ma’ruf Amin di Istana Kepresidenan, Senin (29/5).
Kiai Ma’ruf Amin tidak asing lagi untuk para nahdliyin. Pekan selanjutnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Saiq Aqil Siroj mempertegas, Enggak ada ulama yang dikriminalisasi.
Sayangnya, ketegasan Ketua Umum MUI tsb. –yang bahkan diliput di Republika– dianggap angin lalu oleh sebagian kalangan dengan tetap membesar-besarkan istilah kriminalisasi ulama.
Idulfitri 1438H yang membawa suasana baru: para petinggi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) bertemu Presiden Joko Widodo dalam acara halal bi halal (open house) lebaran. Hasilnya?
“Ekonomi kerakyatan adalah hal yang cukup bagus, adalah bagaimana kita dengan sekian belas juta hektar tanah diperuntukkan untuk masyarakat,” ujar Bachtiar seusai bertemu Presiden pada halal bi halal Idul Fitri 1438 Hijriah di Istana Negara, Ahad (25/6).
Tentang sikap NU terhadap pemerintah, pada tahun 1990-an ada teman aktivis yang mempertanyakan, NU ya begitu, nurut saja kemauan pemerintah: pada zaman Orde Lama memberi gelar ke Soekarno, sekarang ini pun begitu saja menerima Asas Tunggal? Jadi pujian petinggi Bachtiar Nasir setelah pekik, “Selangkah Lagi Jokowi Membuat Indonesia Kafir”, bukan sesuatu yang mengejutkan jika diingat gelar dari NU untuk Soekarno, presiden pertama dan proklamator Indonesia, Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, diterjemahkan, “Pemerintah yang sekarang ini berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan Surah 4 ayat 59)”.
Kembali pada kabar petinggi GNPF MUI bertemu Presiden, saya apresiasi sebagai kandidat berita terbaik 2017 dengan pertimbangan sbb.:
Pertama, sumber berita dari Republika, dengan demikian termasuk representatif. Pemilihan media massa termasuk kerepotan tersendiri, karena jika tidak cocok dengan selera dapat dianggap “tidak objektif”. Hal ini adalah kegelisahan sejak lama dan akut.
Kedua, narasumber dari ulama yang berani bersikap lantang terhadap penguasa dengan demikian sikap yang diambil sekarang tentulah hasil pertimbangan masak-masak.
Ketiga, dalam suasana persaudaraan lebaran, siapapun berhak melangkah pada perdamaian, saling-pengertian, dan semoga para ulama tsb. segera menjelaskan kepada sebagian umat yang sudah terlanjur terbawa bola api ungkapan seperti “kriminalisasi ulama”, “rezim yang zalim”, atau “antek asing yang perlu diwaspadai.” Repot juga kan jika sebagian dari yang terlanjur ini membawa kesaksian tsb. di akhirat kelak; mumpung masih ada kesempatan di dunia fana ini.
Sejak persidangan Basuki Tjahaja Purnama yang menghadirkan Kiai Ma’ruf Amin, beredar tagar #MendadakNU di media sosial. Sikap NU yang dari awal menyerahkan kasus penistaan agama untuk Basuki pada keputusan pengadilan mendadak diramaikan oleh ajakan NU agar bergerak lebih. Dengan segera Wakil Ketua PW GP Ansor Jatim Bidang Infokom, H. Mochamad Nur Arifin, mengeluarkan pernyataan,
Hal serupa disampaikan Wakil Ketua PW GP Ansor Jatim Bidang Infokom, H Mochamad Nur Arifin. Gus Ipin, sapaan akrabnya mengemukakan bahwa Ansor Jatim siap setia membentengi NU dan pesantren dari pihak yang ingin mengadu domba, menebar kebencian dan menciderai kebhinekaan. Kami akan selalu siap menunggu instruksi untuk menjaga marwah dan sebagai benteng NU dan NKRI dari pihak yang sekadar nabok nyilih tangan, ungkap Gus Ipin.
Kelakar “mendadak NU” ini masih bergaung pada saat Yusuf Mansyur –salah satu tokoh Aksi Bela Islam– tiba-tiba muncul mengenakan jaket Banser, sebagai anggota kehormatan Banser Kabupaten Malang. Tidak berselang lama dengan kabar Setya Novanto “pamer” Kartu Anggota NU (Kartanu).
Ya, ada apa sih, apakah NU sedemikian hebat sampai yang lain jungkir-balik meniru siasat NU?
Tentu saja bukan, jika tidak percaya tanyakan saja ke akun NU Garis Lucu. Kejadian-kejadian tsb. berlangsung sporadis, tidak ada hubungan dengan NU, seperti halnya tulisan ini hanya gelitik penyusunan kolase, kecocokan bergaya cocoklogi antarperca. Pada masa kalang-kabut seperti sekarang, saat foto bersama pun dapat dijadikan tudingan besar mengikuti kebiasaan, pola pikir, sikap, gaya hidup, bahkan akidah mitra-foto, sejumlah kecocokan sederhana seperti ilustrasi di atas perlu dihadapi dengan tenang, sedikit mengernyitkan kening, dan tetap riang menjalani dinamika sosial dan –ah!– politik.
Menjaga kesehatan jiwa dan raga, apalagi di dunia media sosial yang penuh belukar kata-kata tajam, belepotan dengan ungkapan kering menonjolkan sikap pribadi, dan condong abai terhadap sekitar. Ditambah mayoritas bergerak tergesa-gesa, lengkap sudah sejumlah ciri-ciri keterbatasan manusia yang disebut dalam Quran.
Jika demikian, apa bedanya dengan NU sendiri?
Dari sedikit yang saya tahu: ada atmosfer di kalangan warga NU atau nahdliyin untuk berhati-hati dari terjerumus pada sikap berlebih-lebihan. Mengutip teman yang saya sebut pada awal tulisan ini, dia mengeluhkan sejumlah kalangan yang menjadi “kesulitan dalam hal selera humor” namun kurang cermat dalam hal rincian kejadian yang berlangsung.
Wallahualam, apa hendak dikata…