Diiringi gerimis, kami, rombongan Jelajah Pangandaran, sampai di hotel tempat kami menginap. Gambaran saya tentang Pangandaran dari sekira dua dasawarsa lalu benar-benar tak membekas, yang terbayang sekilas dari gerbang Pantai Pangandaran hingga hotel adalah suasana kota-pantai; tidak sebesar Kuta di Bali, tentu karena Pangandaran sendiri kabupaten. Pedagang Kaki Lima berjajar di bawah warung-tenda, penyewaan sepeda tersebar di beberapa titik ramai, dan wisatawan berkostum pantai berseliweran.
Di hotel kami disambut perwakilan dinas pariwisata setempat. Tanpa berlama-lama termasuk hanya meletakkan tas di kamar masing-masing, kami diundang mendatangi pertunjukan kesenian di Kampung Cikelu, Desa Sukahurip. Ternyata cukup jauh dari pantai, di daerah pertanian dalam kondisi sedang hujan, mobil rombongan melintasi jalan bak pematang sawah, seukuran sedikit melebihi lebar kendaraan.
Pada Sabtu malam tersebut ditampilkan pertunjukan kesenian yang disebut oleh pemandu kami sebagai “hasil pencarian budaya setempat disertai penelusuran jejak-jejak sejarah pada warga desa yang masih ingat memainkannya”. Hasilnya, kami disuguhi Rengkong, Gondang, dan Ronggeng Gunung. Dua yang pertama adalah kesenian berkaitan dengan masa panen para petani, sedang kesenian ketiga ihwal legenda Dewi Rengganis. Pertunjukan diselenggarakan di halaman rumah penduduk; karena hujan tetap turun, kedekatan kami sebagai tamu dengan tuan rumah menjadi sedikit terkendala. Pertunjukan tetap berlangsung!
Rengkong disebut sebagai kesenian “awal dari prosesi panen” di selebaran yang dibagikan penyelenggara acara. Para penari laki-laki yang membawa pikulan dari batang bambu utuh (bukan dibelah) dan di kedua ujung bambu digantungkan masing-masing seikat padi. Gantungan padi tadi dibuat sedemikian rupa sehingga jika pikulan bambu digoyang-goyang akan dihasilan bunyi-bunyi berirama. Permainan gerak dan bunyi yang menjadi pertunjukan Rengkong, diiringi tetabuhan gendang dan gamelan di belakang.
Tarian panen seperti Rengkong tidak lepas dari kepercayaan tradisional terhadap Dewi Sri yang memang umum di lingkungan petani. Pembawa acara memberi penafsiran modern dikaitkan dengan ketahanan pangan saat ini dan juga kemandirian penyediaan benih. Karena malam itu untuk acara budaya, opini yang disampaikan bersifat retoris. Dinikmati saja sembari mencicipi hidangan tuan rumah berupa masakan khas Pangandaran dan sejumlah kudapan. Di keterangan tambahan di selebaran disebutkan komposisi irama yang muncul dari gerakan Rengkong dalam bahasa Sunda disebut “waas”.
Setelah padi diangkut dari sawah dan ditandai dengan Rengkong, kesenian berikutnya menampilkan sekumpulan penari perempuan. Masing-masing membawa alu, mereka mengelilingi lesung panjang. Dengan komando salah seorang penari mengetuk-ngetukkan antan ke dinding dalam lesung dimulai. Jika pada bagian awal ketukan tsb. masih terdengar seperti sembarang, belum tampak keselarasan suara, berikutnya kian berirama saling melengkapi. Mirip parade drumb band tong plastik dan ember yang dimainkan remaja di kota, yaitu irama yang dihasilkan hanya dari bunyi pukulan berat.
Barangkali sudah menjadi pengalaman langka buat anak-anak muda sekarang, menumbuk gabah menjadi beras dengan alu dan lesung dilakukan secara mandiri di rumah-rumah hingga sekira tiga dasawarsa lalu. Perangkat penumbuk tsb. menjadi semacam peralatan wajib ada, melengkapi lumbung padi. Di lesung yang digunakan malam itu contohnya, tertulis tahun pembuatan 1962.
Tentang penari yang sudah berusia lanjut ini yang terlihat sedikit ganjil sejak tari Rengkong tadi. Biasanya penampilan di pentas dikemas dalam bungkus usia segar, wajah menawan: mojang dan jejaka. Dari keterangan pemandu budaya disebutkan pada masa penggalian kesenian-kesenian Pangandaran mereka menemui kenyataan tradisi tsb. sudah berhenti dari publik dan para seniman yang sudah berusia lanjut tsb. adalah yang tertinggal, yang pernah ikut main. Diharapkan dengan adanya upaya mengangkat kembali kesenian ini, regenerasi dapat segera dimulai.
Dari pengalaman saya menonton pertunjukan dari kabupaten di Taman Budaya Jawa Barat, pesta panen lumrah diadakan di kawasan pertanian, dengan tarian atau prosesi yang mirip satu dengan yang lain. Barangkali juga ada kemiripan se-Pulau Jawa.
Pemandu kami menyebut Ronggeng sebagai kesenian pantai, mungkin karena pengetahuan umum jenis tarian ini dimainkan di daerah Pantai Utara Jawa Barat. Walaupun dalam kisah klasik Ronggeng Dukuh Paruk tidak ditampilkan latar belakang daerah pantai. Ronggeng Gunung, demikian kesenian ini disebut.
Syahdan, tersebutlah Dewi Rengganis, isteri dari Raden Anggalarang. Setelah pembunuhan Raden Anggalarang oleh para bajo (bajak laut), Dewi Rengganis menuntut balas kematian suaminya dengan menyamar sebagai penari Ronggeng dan “mengamen” dari satu tempat ke tempat lain. Perburuan mencari bajo ini berakhir setelah pada satu kesempatan Ronggeng Rengganis berhadapan langsung dengan bajo.
Tragedi di balik kesenian ini kadang membuat tidak nyaman diterima calon penari atau penonton, kendati demikian dari gerak-gerik penari dan ajakan kepada penonton untuk ikut menari bersama menunjukkan jenis tari pergaulan.
Dengan latar belakang figur Dewi Rengganis pun, lebih-lebih dikaitkan narasi Dukuh Paruk, kesenian Ronggeng di Sukahurip ditampilkan oleh rombongan penari yang sudah berusia lanjut. Faedahnya berupa konsentrasi penonton pada kisah mencekam di balik kesenian. Apakah diperlukan revitalisasi untuk kesenian ini atau dengan tegas dibedakan antara tarian tradisional dan kesenian modern, kembali diserahkan kepada para penghulu adat dan budaya setempat.
Saya ucapkan tertima kasih kepada warga Desa Sukahurip yang telah menyambut kami, rombongan orang kota. Maaf karena hanya dengan perkenalan yang terlalu singkat kami seperti langsung saja menerobos komunitas dengan atribut orang kota seperti memotret dan sebagai penonton di tengah kampung yang biasanya sunyi.