Rupanya buku ini yang disebutkan moderator: If Mayors Ruled the World: Dysfunctional Nations, Rising Cities (Yale University Press, 2013), karya Benjamin R. Barber, ilmuwan politik teoritis dan penulis Jihad vs. McWorld sebelumnya.
Pada acara di kampus ITB 8 Maret, diangkat tema Gelombang Baru Nasionalisme: dari Daerah Membangun Indonesia, menghadirkan Tri Rismaharini, wali kota Surabaya, dan Ridwan Kamil, wali kota Bandung, pada sesi sebelumnya. Seperti melengkapi julukan “Reformis Horizontal” di acara Dino Patti Jalal sepekan sebelumnya, yang juga menampilkan sejumlah pemimpin daerah, apakah ini semata kegembiraan dan harapan Indonesia?
Dalam buku If Mayors Ruled the World, DR. Barber mengutip ucapan walikota New York, Fiorello La Guardia, yang seperti abadi, “Tidak ada cara Demokrat atau Republik dalam hal perbaikan got”. Fakta lainnya adalah jumlah warga kota yang sudah mencapai 50% warga dunia –dan diprediksi akan melaju hingga 70% pada tahun 2020 kelak. Kota-kota besar dunia akan kian buncit dengan jumlah penduduk, sarat dengan persoalan kompleks, dan dibandingkan dengan negara-kota pada masa lalu, metropolitan atau megapolitan masa kini sudah melebihi.
Ridwan Kamil saat diwawancara Kompas TV menyebut peran walikota dalam hal praktis, langsung berhadapan dengan masyarakat, sebagai latihan penting sebelum mengambil peran lebih strategis di tingkat yang lebih atas, gubernur atau bahkan kepala negara misalnya. Tri Rismaharini pada acara di atas juga memaparkan stafnya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia –sampai Papua, dengan kata lain: sudah semacam “miniatur perwakilan provinsi”. Kedekatan dengan masyarakat lewat solusi praktis –seperti digambarkan wali kota New York, “dalam hal perbaikan got”– menjadi hal menarik untuk negara seperti Indonesia yang sedang memerlukan solusi membumi. Dengan cara masing-masing, para pemimpin baru sedang mencoba langsung mendekatkan diri ke masyarakat dan berikhtiar membuat terobosan baru penyelesaian masalah warisan para pendahulu. Tentu tidak selalu lancar, beragam kendala, dan bahkan dilihat dari kacamata publik sekalipun masih menyisakan pertanyaan: benarkah mereka melakukannya dengan ikhlas sesuai amanat yang diemban, atau ada kepentingan lain yang tak kasat mata?
Dukungan perangkat kerja juga menjadi kemudahan yang lain untuk para wali kota di masa sekarang. Salah satu yang mulai signifikan peran media sosial dan alat komunikasi di zaman kini. Saya pernah menyebut Ridwan Kamil bukan hanya menggunakan Twitter untuk menjalankan tugas-tugas sebagai wali kota; melainkan sudah seperti memiliki dua kantor balai kota, satu di Jalan Wastu Kancana (lokasi Balai Kota Bandung) dan satu lagi di akun Twitternya. Walaupun hal ini bukan kelaziman untuk semua wali kota di Indonesia, kondisi sosial Bandung dapat didekati dengan cara tsb. Di kota lain tentu perlu modifikasi, namun pada intinya: gunakan teknologi untuk memudahkan pekerjaan dan meraih efisiensi tinggi.
Apakah negara-bangsa yang disebut-sebut sejumlah ilmuwan sebagai buah revolusi Perancis akan bergeser menjadi interkoneksi pemerintahan-kota? Mungkin bukan digantikan total, karena negara-bangsa memiliki konsep kawasan dan perserikatan multi-etnis yang lebih luas, sehingga diperlukan untuk administrasi dan pertahanan kawasan luas, sedangkan interkoneksi kota tampak efektif dalam urusan kerja sama warga dunia.
Untuk Indonesia secara khusus, perbaikan lintas-horizontal menjadi harapan baru di tengah kekusutan model hirarkis yang sering menjadi sibuk soal atribut dan simbol. Seperti keinginan perubahan lainnya, perlu waktu dan kesabaran yang tidak selalu mudah atau tidak selalu murah.