Saya menjumpai beberapa tulisan yang memberi penekanan perbedaan antara agama dan spiritualisme dalam konteks yang tidak tepat, biasanya dalam bentuk sbb.:
Penyebab munculnya perbedaan di atas a.l.:
Saya ajukan pertanyaan: dapatkah dienul Islam diterjemahkan sebagai “spiritualisme Islam” jika memang spiritualisme dianggap “lebih baik” daripada agama? Soalnya setahu saya “agama” –kendati berasal dari bahasa Sansekerta– merupakan padanan untuk dien dalam bahasa Arab.
Jawaban bagus yang datang tentang tanya-jawab Rasulullah dengan malaikat Jibril perihal makna Islam, iman, dan ihsan. Saya setuju dengan jawaban tsb., karena makna berislam dan beriman, yang kemudian dikodifikasi sebagai Rukun Islam dan Rukun Iman, menggambarkan dengan baik soal beragama Islam (ritual) dan beriman sebagai keyakinan. Tafsir kedua rukun tsb. sudah lengkap dibahas berkitab-kitab oleh para ulama terdahulu dan untuk keperluan praktis sehari-hari sudah memadai.
Saya coba kembalikan ke definisi istilah dan hasilnya sbb.:
Agama: ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. –KBBI
Penjelasan di atas cocok dengan definisi religion di kamus bahasa Inggris:
Cukup lengkap, dari soal keimanan/kepercayaan hingga aturan hubungan manusia, jadi pengertian agama tidak hanya tentang syariat/undang-undang.
Tentang spiritualisme dalam bahasa Indonesia, dari tiga arti yang disajikan, poin pertama cocok dengan pembahasan ini,
Spiritualisme: aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian. –KBBI
Penjelasan di atas juga cocok dengan definisi spiritualism di kamus bahasa Inggris yang berisi beberapa poin dan satu yang terkait pembahasan ini,
Spiritualism: spiritual quality or tendency –Dictionary
Alhasil, jika dikaitkan dengan jawaban jelas oleh Rasulullah perihal islam, iman, dan ihsan, ketiganya secara keseluruhan adalah agama/dien dan dari pengalaman diajari tentang ketiganya sejak di Sekolah Dasar merupakan satu paket pendidikan. Rukun Islam dan Rukun Iman misalnya, menjelaskan hal-hal yang berbeda, namun tetap dalam satu paket tentang pelajaran agama Islam. Dengan memilih menjadi muslim (beragama) memang “mengotakkan” dalam satu definisi, ini tidak terelakkan, seperti halnya memilih menjadi WNI ya “mengotakkan” dalam definisi warga Indonesia.
Jika setelah beragama ternyata penganutnya abai terhadap faktor kerohanian, silakan ditinjau apakah ybs. sudah benar dalam beragama atau masih berat sebelah. Jadi bukan membandingkan beragama dengan “faktor spiritual”, melainkan pemahaman atau pelaksanaan agama (lebih-lebih dalam Islam) belum lengkap/berimbang seperti yang seharusnya menjadi pegangan seorang muslim. Mungkin dalam hal ini yang lebih dekat untuk dibandingkan antara elemen syariah/aturan dan kerohanian; walaupun, saya lebih suka melihat dari sisi ilmu fikih dan akhlak, lebih mudah dijelaskan buat saya sebagai muslim.