Ramadan 1432H hari ini berakhir. Salah satu pengulangan pembicaraan sejak sebelum Ramadan adalah konsumsi kaum muslimin/muslimat dalam “bulan menahan diri” ini. Terlihat dari perilaku sehari-hari di sekitar hingga perhitungan lembaga terkait, konsumsi umat Islam terlihat menaik. Sebagai tulisan yang bersifat introspeksi, tentu baik adanya: mengingatkan kita kaum muslimin agar senantiasa menjauhi pemborosan, karena “mubazir itu teman setan”, dan lebih-lebih bertentangan dengan salah satu semangat bulan Ramadan, yaitu berempati terhadap bagian dari umat yang kekurangan.
Namun ada pula yang dengan spekulatif menjadikan hal ini seperti tudingan terhadap umat Islam secara umum, bahwa Ramadan telah merepotkan kondisi perekonomian di Indonesia karena nafsu belanja yang meningkat –dan berpotensi “gila-gilaan”, sehingga berujung pada kenaikan inflasi. Karena Ramadan akan datang sepanjang tahun Qomariyah, apakah hal ini akan menjadi rutinitas?
Bagaimana sebenarnya kondisi perputaran uang selama bulan Ramadan tsb.? Fakta yang terkumpul:
Secara sambil lalu, angka-angka trilyunan di atas mengesankan jumlah yang luar biasa banyak dan potensial dijadikan bahan retorika. Padahal, coba lakukan pembagian antara konsumsi tsb. dan jumlah penduduk Indonesia, akan diperoleh angka sekitar Rp108 ribu/orang/bulan. Saya gunakan pembagi berupa jumlah penduduk Indonesia karena yang turut mengonsumsi dan memutar duit sehari-hari adalah semua penduduk Indonesia. Tidak dibedakan ybs. muslim atau bukan, berpuasa atau tidak.
Jumlah Rp108 ribu/orang/bulan relatif kecil, berarti hanya sekitar Rp6.000/orang/hari. Setara dengan satu porsi menu paling sederhana di warteg. Di The Jakarta Globe ditulis ilustrasi beberapa narasumber yang mengaku memang menghabiskan uang untuk belanja dan makan di luar lebih banyak dibanding hari-hari biasa. Dalam pengakuan itu, faktor seperti “balas dendam” setelah sehari tidak makan/minum menyebabkan belanja saat dan setelah berbuka menjadi lebih banyak dibanding hari-hari biasa. Disebut pula bahwa sekali makan salah satu narasumber menghabiskan Rp50.000. Artinya, angka rata-rata Rp108 ribu/bulan tadi habis hanya untuk belanja makan dua hari. Dengan demikian isu pemerataan masih relevan dalam hal ini, yaitu antara kelompok yang memang bertambah konsumsinya dan kelompok lain yang sebenarnya “tetap-tetap saja” atau “malah berhemat” dengan berpuasa Ramadan.
Termasuk juga secara sekilas terlihat perbedaan gaya hidup urban dengan di kampung, semisal pada acara buka bersama yang menjadi tren undang-mengundang dan ajang acara silaturahim di kota, apapun tujuannya. Peningkatan ongkos konsumsi tampak tidak terelakkan karena beberapa konsekuensi:
Ongkos sisanya adalah keperluan-keperluan lain yang sebenarnya tidak esensial, namun karena beberapa budaya yang disandingkan begitu saja dengan ibadah puasa di bulan Ramadan, seolah-olah dianggap “bagian dari Ramadan”. Tidak ada anjuran untuk “makan lebih enak” dan “berkumpul ramai-ramai”. Begitu pula dengan mudik yang menjadi tradisi silaturahim dalam bentuk eksodus sangat besar, sangat berpotensi memberi kontribusi signifikan pada perputaran uang selama Ramadan. Perhelatan 15 juta manusia saat mudik ini tidak ada hubungan dengan bulan Ramadan.
Angka-angka di atas kemungkinan besar akan naik dari tahun ke tahun, penyebabnya jumlah penduduk yang meningkat dan rata-rata belanja juga ikut bertambah, semisal terkait dengan peningkatan kualitas belanjaan. Ini semua tidak selalu terkait atau disebabkan oleh Ramadan, oleh karena itu, “memang benar peningkatan inflasi terjadi di bulan Ramadan, namun bukan serta-merta amalan bulan Ramadan itu sebagai penyebab”.