Ikhlasul Amal

Mengembalikan keriangan menulis

Margaret

Posted at — Apr 8, 2013

Dari Beranda Facebook, saya mendapat kabar Margaret Thatcher meninggal dunia. Saya tertarik menulis kenangan tentang Thatcher yang disebut “wanita besi”. Tentang sedikit catatan seputar dirinya saat berkuasa dan setelahnya.

Thatcher memang punya pengaruh luas. Rasanya sepanjang usia saya mengenali pemerintahan di Inggris (atau Kerajaan Bersatu, UK?), Thatcher yang paling mendominasi ingatan. Kisah-kisahnya dimuat di media massa pada tahun 1990-an – kendati saya tidak hapal tahun-tahun kekuasaannya. Pada saat kunjungannya ke Jakarta pertama kali, sambutan akan kedatangannya meramaikan media massa. Semacam kebanggaan di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto menerima tamu sekelas Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Kira-kira sama semarak dengan kedatangan Presiden Prancis François Mitterrand.

Pada kunjungan pertama, Thatcher datang sebagai perdana menteri, sehingga Soeharto menunggu sang tamu di Istana Negara dan barulah ibu perdana menteri datang. Sebaliknya, pada kunjungan kedua ke Jakarta beberapa tahun kemudian, Thatcher sudah tidak menjabat sebagai perdana menteri, dia datang di ruangan terlebih dulu, dan barulah beberapa saat kemudian Soeharto –yang masih menjabat sebagai presiden – memasuki ruangan. Protokoler seperti ini penting dan seingat saya dibahas dengan menarik di salah satu media massa saat itu.

Saat Thatcher sebagai perdana menteri juga, perang Inggris-Argentina ihwal sengketa Kepulauan Malvinas atau Falkland muncul. Nama “Malvinas” menjadi populer di Indonesia, sampai ada Bakso Malvinas. Salah satu soal ujian masuk SMP saya juga berisi pertanyaan tentang Perang Malvinas, tampaknya pihak sekolah ingin mengukur seberapa jauh calon siswa mengikuti kabar berita dunia. Salah satu acara menarik di TVRI saat itu tentang perang dan persenjataan; Perang Malvinas menjadi bahan acara tersebut cukup lama.

Puncaknya, keseluruhan perang tsb. dijadikan film dokumenter dan diputar di gedung bioskop. Cukup ramai ditonton masyarakat di kecamatan kami di Jember, Jawa Timur. Benar-benar film dokumenter dan lebih banyak menampilkan peralatan perang paling modern saat itu, seperti pesawat Sea Harrier yang dapat lepas landas vertikal, rudal anti kapal laut, dan pesawat Mirage. Secara tidak langsung seperti unjuk teknologi militer Inggris dan Prancis, yang peralatannya digunakan Argentina. Film perang ini satu-satunya film komersial yang menggambarkan situasi dunia tidak jauh setelah kejadian berlangsung di masa sekitar satu dekade sebelum CNN memulai liputan langsung perang ke televisi.

Tangan besi Thatcher menjadi sindiran di majalah Index of Censorship yang saya ikuti saat itu. Kebijakan pemerintahan Thatcher tentang keterbukaan sering diekspos dalam paparan teks hingga olok-olok berupa poster vulgar. Barangkali semacam humor gelap bergaya Eropa.

Kantor perdana menteri Inggris “Downing Street Number Ten” juga terbawa dalam ekspos media di sekitar kunjungan Thatcher ke Indonesia. Salah seorang pembawa berita TVRI yang dianggap berbahasa Inggris paling fasih saat itu juga berkesempatan mewawancarai langsung Thatcher dan turut mengangkat popularitas pembawa berita tsb. Mewawancarai perdana menteri secara langsung juga menjadi daya tarik buat kami penonton televisi di kampung, karena tidak pernah ada wawancara langsung dengan Bapak Presiden Republik Indonesia.

Selamat jalan, Bu.

Catatan: tulisan di atas disusun tanpa menelisik rujukan, termasuk mesin pencari –kecuali pemeriksaan ejaan penulisan nama; disengaja untuk menyegarkan ingatan kejadian 3 s.d. 2 dekade lalu. Koreksi silakan ditulis di komentar dan saya ucapkan terima kasih sebelumnya.